Rindu adalah perasaan sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu. Perasaan ini biasanya muncul saat lama tak berjumpa dengan seseorang yang amat disayangi. Hal ini manusiawi dan sah-sah saja. Selama tidak berlebihan atau melampaui batas.
Namun, pernahkah kita merindukan Dzat yang teramat sangat menyayangi kita? Bahkan tak mungkin kita hidup tanpa kasih sayang-Nya. Dialah Allah subhanahu wa ta’ala.
Kerinduan hamba kepada Rabbnya terobati saat bermunajat kepada-Nya. Terutama ketika menunaikan shalat. Sehingga ia benar-benar selalu menunggu-nunggu kedatangan waktu shalat dan sangat menikmati saat menjalaninya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan,
“وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ“
“Hiburanku adalah shalat”. HR. Nasa’iy dan dinilai sahih oleh al-Hakim, adh-Dhiya’ al-Maqdisiy serta al-Albaniy.
Bagaimana tidak terhibur dan menikmati shalat, sedangkan di dalamnya seorang hamba ‘bercakap-cakap’ dengan Allah ta’ala.
Dalam Shahîh Muslim (IV/324 no. 876) disebutkan bahwa setiap hamba membaca ayat per ayat surat al-Fatihah, Allah ta’ala akan membalas dengan firman-Nya.
Imam Ibn Rajab (w. 795 H) menjelaskan bahwa “hadits di atas menunjukkan bahwasanya Allah mendengarkan bacaan orang yang shalat. Sebab dia sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya. Lalu Allah menjawab setiap bisikan hamba-Nya, kalimat per kalimat”.
Pertemuan akbar
Pertemuan rutin harian hamba dengan Allah adalah ketika shalat. Adapun pertemuan akbarnya, adalah ketika ia bertemu Allah di surga-Nya. Hanya orang-orang beriman yang merindukan pertemuan tersebutlah, yang akan menikmati karunia terbesar itu.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ“، قَالَتْ عَائِشَةُ أَوْ بَعْضُ أَزْوَاجِهِ: إِنَّا لَنَكْرَهُ المَوْتَ، قَالَ: “لَيْسَ ذَاكِ، وَلَكِنَّ المُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ المَوْتُ بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّهِ وَكَرَامَتِهِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ وَأَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ. وَإِنَّ الكَافِرَ إِذَا حُضِرَ بُشِّرَ بِعَذَابِ اللَّهِ وَعُقُوبَتِهِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَهَ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ، كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ وَكَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ“.
Dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Barang siapa menyukai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun akan menyukai perjumpaan dengannya. Barang siapa membenci perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun akan membenci perjumpaan dengannya”.
Aisyah atau sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kita semua membenci kematian”.
Beliau menjawab, “Bukan itu yang dimaksud. Namun seorang mukmin saat menghadapi sakaratul maut, dia akan diberi kabar gembira berupa ridha Allah dan karunia-Nya. Tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai dibandingkan apa yang akan ia peroleh kelak. Saat itulah ia menyukai perjumpaan dengan Allah. Sehingga Allah pun menyukai perjumpaan dengannya. Adapun orang kafir, ketika menghadapi sakaratul maut, ia akan diancam dengan azab dan hukuman Allah. Tidak ada sesuatu yang lebih ia benci dibanding apa yang akan menimpanya kelak. Sehingga ia membenci perjumpaan dengan Allah. Maka Allah pun membenci perjumpaan dengannya”. HR. Bukhari dan Muslim.
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Jum’at, 25 Muharram 1440 H / 5 Oktober 2018